KETAHANAN NASIONAL DIMULAI DARI ADMINISTRASI YANG ADIL

Oleh: Ayuningtyas Widari R.,S.I.A.,M.Kesos

Di tengah semangat besar menuju Indonesia Emas 2045, kita banyak berbicara soal pembangunan ekonomi, kekuatan militer, transformasi digital, dan bonus demografi. Namun jarang yang menyinggung satu aspek yang tampak remeh, namun sesungguhnya menjadi pondasi dari semua cita-cita besar itu: administrasi publik yang adil dan inklusif.

Salah satu contoh sederhana namun relevan adalah pertanyaan standar yang hingga kini masih digunakan dalam banyak sistem digital negara dan lembaga keuangan: “Nama gadis ibu kandung?” Meskipun dimaksudkan sebagai metode verifikasi identitas, pertanyaan ini menyingkirkan banyak realitas sosial yang ada di tengah masyarakat kita.

Bagaimana dengan anak-anak yatim piatu? Anak yang dibesarkan di panti asuhan? Anak adopsi yang sejak awal tidak pernah mengenal ibu biologisnya? Atau mereka yang lahir dalam situasi sosial yang kompleks, yang bahkan dokumen identitasnya tidak mencatat secara lengkap struktur keluarganya? Ketika sistem negara tidak menyediakan alternatif, maka pertanyaan administratif yang tampak sederhana ini berubah menjadi penghalang akses terhadap hak-hak dasar.

 

Administrasi yang Tidak Inklusif: Ancaman Bagi Ketahanan Sosial

Konsep ketahanan nasional bukan hanya milik sektor militer atau ekonomi. Di dalamnya, terdapat komponen penting bernama ketahanan sosial, yaitu kemampuan masyarakat untuk tetap utuh, adil, dan berdaya dalam menghadapi tekanan sosial, budaya, dan politik. Ketahanan sosial membutuhkan sistem negara yang memeluk semua warga, bukan yang hanya melayani mereka yang lahir dalam struktur keluarga yang dianggap “ideal.”

Ketika seorang anak muda tidak bisa menyelesaikan pendaftaran beasiswa, membuka rekening bank, atau mengisi laporan SPT hanya karena tidak bisa mengisi kolom “nama gadis ibu kandung,” maka sistem negara gagal menghadirkan rasa memiliki dan kepercayaan. Inilah titik rapuh dari ketahanan sosial: ketika negara tidak mampu merepresentasikan kenyataan sosial warganya, maka mereka perlahan menjauh dari negara.

Dalam jangka panjang, warga yang terus mengalami diskriminasi administratif meskipun tanpa sengaja akan merasa bahwa negara bukan milik mereka. Ketika rasa keterasingan itu menguat, maka integrasi nasional akan melemah secara perlahan.

 

Ketidakadilan Administratif Berujung Ketimpangan Pelayanan

Masalah lainnya adalah sinkronisasi data. Di era digital, masyarakat telah diminta memperbarui data kependudukan secara berkala seperti saat menikah, cerai, memiliki anak, atau pindah domisili. Namun dalam praktiknya, banyak warga yang menemukan bahwa data mereka di sistem perpajakan, layanan perbankan, atau bantuan sosial tidak pernah berubah.

Contohnya, seorang ibu yang telah memiliki KK sendiri setelah menikah, masih tercatat dalam sistem pajak sebagai bagian dari KK orang tuanya. Ini bukan sekadar gangguan teknis, tapi berpengaruh langsung pada perhitungan jumlah tanggungan dalam SPT, akses terhadap bantuan sosial, dan layanan keuangan formal. Dalam konteks pembangunan nasional, data yang tidak sinkron berarti kebijakan yang tidak akurat.

Kita tidak mungkin menyusun perencanaan fiskal, subsidi, atau intervensi sosial jika data dasarnya masih menyimpang. Akibatnya, mereka yang seharusnya menerima bantuan bisa terlewatkan, dan yang seharusnya membayar pajak dengan skema tertentu justru dikenai beban yang tidak semestinya.

 

Ketahanan Nasional: Fondasi dari Sistem yang Adil

Ketahanan nasional, dalam paradigma modern, bukan lagi soal persenjataan atau pertahanan fisik semata. Ia kini mencakup kemampuan sistem negara untuk melindungi, melayani, dan mengakui seluruh warganya secara adil dan merata. Maka, sistem administrasi publik adalah garda depan ketahanan nasional.

Ketika warga merasa diakui dan dapat mengakses hak-haknya tanpa diskriminasi, maka mereka akan membalasnya dengan loyalitas, kontribusi, dan rasa tanggung jawab kepada bangsa. Sebaliknya, sistem yang kaku dan tidak peka justru menciptakan potensi kegelisahan sosial, ketidakpercayaan, bahkan perlawanan pasif terhadap negara.

Untuk itu, in my humble opinion pemerintah perlu:

  1. Meninjau ulang seluruh parameter verifikasi identitas agar inklusif terhadap berbagai bentuk keluarga dan struktur sosial modern;
  2. Menyediakan alternatif pertanyaan verifikasi, seperti “siapa wali atau pengasuh Anda saat kecil?” atau “nama orang tua/wali saat Anda lahir”;
  3. Mempercepat proses sinkronisasi data antara Dukcapil, Dirjen Pajak, dan lembaga keuangan untuk memastikan konsistensi data lintas platform;
  4. Menyediakan kanal koreksi data yang mudah diakses warga tanpa harus terjebak birokrasi berlapis.

 

Menuju Indonesia Emas: Tak Cukup Hanya Infrastruktur

Jika kita ingin menyongsong Indonesia Emas 2045, maka pembangunan tidak bisa hanya berfokus pada fisik: jalan tol, bandara, atau digitalisasi. Kita butuh infrastruktur keadilan sosial dan administratif, yaitu sistem negara yang bisa mengikuti dinamika kehidupan nyata warganya, bukan yang memaksa realita tunduk pada format kuno.

Digitalisasi bukanlah kemajuan jika hanya membuat orang yang sudah kuat menjadi makin mudah mengakses, dan yang lemah makin tertinggal karena terjebak di satu kolom yang tidak bisa dijawab.

Dalam konteks itu, pertanyaan sederhana seperti “nama gadis ibu kandung” bukan sekadar persoalan teknis. Ia adalah cerminan dari cara pandang negara terhadap warganya. Jika kita tidak segera melakukan reformasi administratif yang adil, maka kita sedang membangun rumah megah di atas fondasi yang rapuh.

Penulis adalah praktisi hubungan pemerintah dan keberlanjutan, serta penggerak sosial yang fokus pada isu-isu keadilan akses publik.

Leave a comment

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑